Selasa, 10 Maret 2009

MasaLahh KlaSIK dunIA PendidiKAN KIta

Saya ingat waktu kuliah dulu, salah seorang dosen mengatakan "Orang Indonesia cerdas dan kreatif dengan rasa ingin tau yang besar". Tentu saja banyak mahasiswa yang gak terima terutama saya. "Dimana letak cerdas dan kreatifnya pak?" tanyaku setengah emosi. Tentu saja ini fitnah .. nahh! Begini, di Indonesia barang yang di luar negeri hanya sekedar sampah di tangan orang Indonesia bisa menjadi barang yang pula value added (nilai tambah), ban bekas bisa jadi baru, kondom bekas jadi gelang warna warni, bukannya ini kreatif! O.. alaa, kirain apa.

Trus, rasa ingin tau yang besar itu? Coba kalo ada kecelakaan, pasti yang nonton lebih banyak ketimbang yang nolong. Di kantor juga gitu, kalo ada berkas teman di atas meja tergeletak, ada kemungkinan teman yang lain ingin melihat. Bukannya ini berarti rasa ingin tau yang besar. O .. alaa (yang ke-2 kalinya), itu sih sama juga usil.

Pada perkembangan berikutnya (ini beneran ..) terbukti anaknya seorang teman yang di SMP Jakarta biasa-biasa saja, begitu pindah ke SMP di Amerika (pasti di Amerika disebutnya bukan SMP he .. he ) bisa rangking I, wahh .. wahh.. hebat. Nanti dulu, begitu anak ini balik ke Indonesia dia juga dapat Rangking no 1 tapi dari belakang. Why? Sekolah di Indonesia penuh dengan tantangan dan hapalan dengan banyak jumlah mata pelajaran. Sementara di Amerika bebannya ringan, ibarat biasa bawa beras satu karung dicambuki, di Amerika bawa satu kilo dengan dikipasi, dikasi jus, dipayungi, di ....

Seperti salah satu iklan partai, Obama yang hanya beberapa tahun sekolah di Indonesia aja bisa jadi Presiden, apa lagi kalo sampe kuliah ? Tapi siapa yang berani jamin kalo Obama berani dan mampu jadi gubernur di Indonesia, saya mungkin orang pertama yang berani taruhan kalo Obama TIDAK akan mampu. Wah berarti ngeremehkan? Bukan ini logika. Ada berapa banyak orang Indonesia yang berprestasi di Luar negeri tapi gak bisa jadi apa-apa di Indonesia. Kurniawan yang jagoan sepak bola aja begitu pulang gak kepake.

Dunia pendidikan kita mencetak orang yang pandai berteori di segala bidang. Oleh sebab itu sejak SD selalu ditanyakan tentang definisi, tahun berapa, dimana. Tidak pernah diberi kasus untuk diselesaikan. Misalnya kalo anak SD ditanya apabila tersesat di Mal apa yang kamu lakukan? Ditingkat perguruan tinggi, yang nantinya digunakan malah pengalaman berorganisasi ketimbang technical Skill nya. Tapi di Indonesia wajib kuliah biar dapat Ijazah dan gelar. Karena tapa itu orang tidak percaya. Makanya kuliah yang bener, jaga-jaga kali-kali suatu saat jadi caleg jadi gak perlu beli atau malsuin Ijazah. Kalo kita lihat sudah berapa caleg yang yang tidak menyangka jadi caleg padahal putus sekolah (putus sekolah bukan karena gak ada biaya, tapi emang males), sehingga mati-matian beli Ijazah.

Jadi harus bagaimana? Dengan mematok bahwa kita cukup "pintar" dibanding orang luar, setidaknya kita tidak rendah diri apalagi mbungkuk2 dengan orang luar. Biasa saja sama sama manusia.  Mulailah membuat generasi yang beda dengan generasi tua. Khusus untuk Sistem Informasi, jadilah generasi yang funky, grovee, gaul, haus akan informasi teknologi (bukan info artis) dengan tetap mengedepankan tingkah laku yang santun dan beradab. Programmer gondrong, lusuh , bau , sandalan, jomblo, bisanya cuma chating gak berani ketemu, bisa cuma ngirim bunga jpg bukan bunga asli, jauh dari disiplin, gak sopan,  itu semua sudah expired alias basi. Sudah gak ngetrend. Vivat Sistem Informasi !

3 komentar:

titus23 mengatakan...

hmm ada benarnya jg,
emang susah sekali untuk nglepasin budaya itu .

Tapi gimana ?pak ada solusi lain

Call me "djoelfy" mengatakan...

Solusinya datang dari diri kita sendiri, semakin kita banyak pengetahuan otomatis semakin bijaksana dalam menyikapai permasalahan. Ingat jangan terlalu terpaku pada rumus, bahwa rumput pasti hijau, langit pasti biru, belum tentu! Thks for comment!

Kiranti mengatakan...

Nah itu dia yg perlu digaris bawahi Pak...!!!
"Ijazah dan Gelar sebagai tolak ukur kemampuan"
Padahal belum tentu orang berijazah dan bergelar memiliki skill sesuai gelarnya.

Contoh:
Ayah saya yg lulusan kelas 3 SD (alias tidak tamat SD) mampu merancang mesin industri yang hasil produksinya diekspor keberbagai negara.
Bahkan sebelumnya Ayah saya dijuluki "Bomberman" karena kemampuannya merakit bom (bukan terosris, tapi memang perusahaannya berhubungan dengan bom).
Kesemuanya itu didapat bukan dari bangku sekolah yang terlalu berbelit-belit.
Melainkan dari ketekunan terhadap sesuatu yang menarik baginya.